VISITORS

Bab 3: Perundang-undangan Nasional

Thursday, January 27, 2011

A. PENGERTIAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL


Perundang-undangan nasional adalah berbagai peraturan yang dibuat oleh lembaga pembuat undang-undang berdasarkan konstitusi dan berlaku sah di Indonesia.

Berbagai peraturan itu dibuat oleh lembaga pembuat undang-undang yang diakui oleh konstitusi, bukan oleh sembarang lembaga negara. Adapun lembaga lembaga tersebut,yaitu :
a.      MPR, membuat Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR;
b.      DPR (bersama Presiden), membuat Undang-Undang;
c.      Presiden,membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dan Keputusan Presiden;
d.      DPRD Provinsi dan Gubernur, membuat Peraturan Daerah Provinsi;
e.      DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota, membuat Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
f.       Badan Perwakilan Desa, membuat Peraturan Desa.
Danan Giriatmojo (6), Kelompok 6
Diposting oleh: I Made Wikananda Supartha, Kelompok 4


B. PROSES PEMBUATAN UNDANG - UNDANG NASIONAL
1.       Perundang – undangan Produk Pemerintah Pusat
6 perundang – undangan produk pemerintah pusat yaitu:
·         UUD 1945
·         Undang-Undang
·         Tap MPR
·         Perpu
·         Peraturan Pemerintah
·         Keputusan Presiden

a.       Proses Pembuatan UUD 1945
UUD 1945 disusun dalam sidang BPUPKI dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam siding PPKI lalu telah mengalami amandemen sebanyak 4 kali (siding MPR tahun 1999, 2000, 2001, 2002)
b.      Proses Penyusunan Undang – Undang
Penyusunan UU dilakukan oleh Presiden dan DPR dan keduanya berhak untuk mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU)
Proses pembahasan RUU meliputi 3 tahap, yaitu:
·         Tahap Persiapan: berlangsung di Badan Legislasi DPR
·         Tahap Pembahasan: berlangsung dalam 4 tingkat pembicaraan
·         Tahap pengundangan: diundangkan dalam lembaran Negara oleh Presiden
RUU dapat menjadi UU bila sudah ditandatangani oleh Presiden
5 pemeran penting dalam pembuatan Undang Undang yaitu
·         Pemerintah: Presiden atau mentri yang mewakili presiden
·         Badan Legislasi(baleg): alat kelengkapan DPR yang menampung RUU dari Pemerintah
·         Komisi DPR: alat kelengkapan DPR yang dibentuk untuk menjalankan tugas – tugas DPR, ada 11 Komisi
·         Panitia Khusus DPR (Pansus DPR): alat kelengkapan DPR untuk melakukan tugas tertentu dalam masa siding
·         Fraksi DPR: pengelompokan anggota DPR berdasarkan peta kekuatan partai politik hasil pemilu
c.       Proses Penyusunan ketetapan MPR (tap MPR)
Terdiri dari 4 pembicaraan yaitu:
·         Pembicaraan tingkat 1: penyusunan Rantap dan Rantus dalam Badan Pekerja MPR
·         Pembicaraan tingkat 2: pembahasan dalam rapat paripurna MPR
·         Pembicaraan tingkat 3: pembahasan dalam rapat komisi/panitia ad hoc MPR
·         Pembicaraan tingkat 4: pengambilan keputusan dalam rapat paripurna MPR
4 pemeran penting dalam pembuatan tap MPR, yaitu
·         Badan pekerja MPR: alat kelengkapan MPR yang bertugas menyiapkan rancangan acara dan rancangan putusan siding umum, siding tahunan, dan siding istimewa MPR
·         Fraksi MPR: pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan peta kekuatan politik
·         Komisi MPR: alat kelengkapan MPR yang dibentuk sesuai dengan acara persidangan
·         Panitia Ad Hoc MPR: alat kelengkapan MPR yang dibentuk untuk melakukan tugas tertentu apabila diperlukan dalam persidangan
d.      Proses penyusunan Perpu
Perpu dilakukan oleh pemerintah
Perpu dapat menjadi Undang Undang apabila disetujui oleh DPR, jika tidak disetujui maka perpu wajib dicabut (pasal 22 ayat 2 dan 3 UUD 1945)
e.      Proses penyusunan peraturan pemerintah
Proses penyusunan peraturan pemerintah didasarkan pada inpres No 15/1970
3 tahapan dalam penyusunan peraturan pemerintah yaitu
·         PRAKARSA
·         PENYUSUNAN DAN PENGOLAHAN
·         PENGENSAHAN DAN PENGUNDANGAN
f.        Keputusan presiden
Keputusan presiden dilakukan apabila dalam keadaan yang sangat mendesak atau situasi kritis

2.       Perundang – Undangan Produk Pemerintah Daerah
Produk perundang undangan di daerah yaitu Perda.
Perda terbagi dalam 3 macam, yaitu
·         Perda provinsi: dibuat oleh DPRD1 provinsi bersama gubernur
·         Perda kabupaten: dibuat oleh DPRD2 kabupaten bersama bupati/walikota
·         Peraturan desa: dibuat oleh BPD atau yang setingkat
Tahap tahap penyusunanya yaitu:
·         PRA RAPAT-RAPAT DPRD
·         PEMBAHASAN
·         PENGUNDANGAN

Dibuat oleh: Prasetya Jodhi (23) kelompok 3
Diposting oleh: I Made Wikananda Supartha kelompok 4

C. Mentaati Peraturan Perundang-Undangan

1.    Ketaatan Terhadap Perundang-undangan
Berbagai macam peraturan perundang-undangan pada dasarnya dibuat untuk ditaati. Maksudnya, ketentuan-ketentuan yang ada dalam perundang-undangan dibuat agar dijadikan pedoman masyarakat. Adanya ketaatan tersebut memungkinkan akan terwujudnya keteraturan dalam masyarakat (social order). Tanpa adanya ketaatan, maka perundang-undangan hanya menjadi dokumen tanpa arti, maka dari itu kita semua harus berupaya menaati peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk di negara Republik Indonesia harus berlandaskan kepada:
1.    Landasan Filosofi
2.    Landasan Sosiologis
3.    Landasan Yuridis
Ketaatan bukan hanya sekedar di pahami tetapi dikerjakan, maka dari itu ketaatan tersebut harus didasarkan pada alasan mendasar untuk taat. Apakah alasan mendasarnya? Yaitu, bahwa peraturan perundang-undangan itu adil dan demokratis. Sebuah peraturan perundang-undangan dikatakan adil dan demokratis, jika :
a.     Bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber hukum dasar nasional;
b.    Menghargai kemajemukan bangsa;
c.     Menjunjung tinggi HAM;
d.    Membuka diri terhadap partisipasi masyarakat.
e.     Proses Penyusunannya Terbuka dan Bertanggung Jawab
Setiap perundang-undangan yang mencerminkan kelima ciri tersebut memiliki keabsahan, karena itu layak dan bahkan mesti ditaati. Perundang-undangan yang mengabaikan kelima ciri itu tidak memiliki keabsahan dan pada umumnya perundang-undangan seperti itu tidak akan ditaati, sekalipun ditaati karena adanya pemaksaan dari aparat Negara dan orang-orang melaksanakannya bukan karena merasa manfaat dari perundang-undangan itu, melainkan takut akan kekerasan aparat Negara. Model ketaatan seperti itu akan membuahkan berbagai pelanggaran HAM.

Ketaatan perundang-undangan haruslah makin didasarkan pada keabsahannya, asrtinya perundang-undangan itu ditaati karena adil dan demokratis. Tugas lembaga legislatif  dan pemerintah untuk bisa mewujudkan perundang-undangan semacam itu. Agar lembaga legislatif dan pemerintah sungguh-sungguh berusaha mewujudkan perundang-undangan maka perlu adanya partisipasi dari masyarakat.

Partisipasi itu setidaknya  dilakukan dalam bentuk :
1.    Memberikan masukan berupa berbagai informasi sebagai bahan untuk menyusun materi perundang-undangan;
2.    Melakukan pengawasan terhadap proses penyusunan perundang-undangan;
3.    Melakukan berbagai upaya demokratis untuk mengkritisi perundang-undangan yang tidak adil dan tidak demokratis.
Partisipasi semacam itu dapat memungkinkan perundang-undangan  dapat yang dihasilkan memiliki keabsahan, sehingga tidak ada alasan bagi warga Negara untuk tidak menaatinya.

2.    Menumbuhkan Ketaatan Sukarela terhadap Perundang-undangan
Ketaatan terhadap perundang-undanganan seharusnya merupakan ketaatan sukarela, bukan ketaatan karena pemaksaan dari aparat. Ketaatan sukarela terhadap perundang-undangan merupakan hal yang penting, ketaatan semcam itu menjadi penompang tumbuh berkembangnya demokrasi, karenanya ketaatan sukarela harus diupayakan perwujudannya.

Lembaga pembuat perundang-undangan dan masyarakat bertanggung jawab atas terwujudnya ketaatan yang sukarela. Lembaga pembuat perundang-undangan betanggung jawab untuk membuat perundang-undangan yang adil dan demokratis.  Warga masyarakat pun harus bertanggung jawab untuk berpartisipasi aktif dalam menyusun berbagai perundang-undangan, tujuannya agar perundang-undangan tersebut sesuai dengan kebutuhannya. Hal itu dilakukan dengan mengemukakan aspirasi mereka secara jujur dan santun mengenai persoalan yang akan diatur dalam perundang-undangan.

Dalam menwujudkan partisipasi itu, masyarakat bertanggung jawab untuk menghormati keragman masyarakat dan dalam hal ini masyarakat perlu belajar untuk tidak memaksakan kehendak. Jadi masyarakat perlu belajar berbesar hati, yaitu belajar untuk bisa menerima kenyataan bahwa tidak semua aspirasi dapat terpenuhi dalam perundang-undangan.

Patut diketahui, kesediaan berbesar hati tidak bisa dan tidak boleh dituntut/dipaksakan oleh kelompok yang satu pada kelompok yang lain. Jadi, semua kelompok masyarakat perlu belajar berbesar hati, karena hanya itulah dasar kokoh bagi tumbuh kembangnya ketaatan sukarela terhadap perundang-undangan. Sebagai Masyarakat umum,kita perlu menaati peraturan perundang-undangan itu dengan kesadaran sendiri.
Ketaatan sukarela bisa dibangun dengan rasa torelansi dan besar hati juga tidak memaksakan kehendaknya sendiri.Dalam menyampaikan aspirasi,masyarakat harus melakukannya dengan tertib dan sesuai aturan.Kita juga harus menghormati aspirasi orang lain.

NUGRAHA SULAIMAN IRSYAD (22), Kelompok 2
MUTHIA SYIFA CHANTINIA (20), Kelompok 5
Diposting oleh: I Made Wikananda Supartha

D. Pengertian Antikorupsi dan Instrumen Antikorupsi di Indonesia 

Berikut adalah tabel kebijakan pemerintah dalam memberantas korupsi

Tahun
Kebijakan Pemberantasan Korupsi
1945-1966
 Pemerintahan Soekarno
1956-1957
Gerakan antikorupsi dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis, wakil Kepala Staf AD. Pada masa itu juga dikeluarkan peraturan penguasa militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan ini dibuat karena Kitab Undang-undang Hukum pidana dianggap tidak mampu menanggulangi praktek korupsi pada masa itu.
1967-1998
Pemerintahan Soeharto 
1967
Soeharto mengeluarkan Keppres No. 228 thn.1967 untuk membentuk tim pemberantasan korupsi.
1970
Komisi Empat dibentuk untuk meneliti dan mengkaji kebijakan dan hasil yang dicapai dalam pemberantasan korupsi.
1971
Indonesia memiliki UU pemberantasan Tipikor no. 3 thn. 1971
1977
Pemerintah mencanangkan Obstib yang memiliki tim untuk bertugas mengikis habis praktek-praktek penyelewengan dalam segala bentuk.
1980
Pemerintah dan DPR menghasilkan UU No. 11 tahun 1980 tentang tindak pidana suap serta Pemerintah mengeluarkan peraturan tentang Disiplin Pegawai Negeri yang tertuang dalam PP no. 30 thn 1980.
1998-1999
 Pemerintahan Habibie
1998
1. Sidang umum MPR menghasilkan salah satu ketetapan yang secara tegas menuntut pemerintah yang bersih dan bebas KKN.
2.  Pemerintah dan DPR menghasilkan UU no. 28 thn. 1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN. 
1999-2001
 Pemerintahan Abdurrahman Wahid
1999
1. Pemerintah membentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara.
2. Terbitnya Keppres tanggal 13 Oktober 1999 tentang pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara. 
2000
 1. Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional.
2. Tim gabungan pemberantasan tipikor berdiri. Tim gabungan ini merupakan cikal bakal dari komisi Pemberantasan Korupsi.
3. Terbitnya surat keputusan Dirjen administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan HAM untuk menetapkan pembentukan tim persiapan pembentukan Komisi Pemberantasan Tipikor
2001-2003
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri
2001
 1.Pemerintah dan DPR mengeluarkan UU no. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU no.31 thn. 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.
2. Tim gabungan Pemberantasan Tipikor terpaksa dibubarkan karena adanya putusan hak uji materiil Mahkamah agung.
2002
Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-undang no. 20 thn. 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan tipikor. 
2003
 1. Presiden mengeluarkan Keppres Pembentukan Panitia seleksi calon pimpinan komisi pemberantasan Tipikor.
2. Indonesia menandatangani konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi di New York, Kamis 28 Desember 2003.
2004-sekarang
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 
2004
1. Keppres 59/2004 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan Tipikor berwenang memeriksa dan memutus kasus korupsi yang penuntutannya diajukan KPK.
2. Inpres 5/2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi 
2005
Keppres 11/2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak pidana korupsi. 

1.       Pengertian Anti korupsi
Antikorupsi adalah suatu sikap dan perbuatan yang menolak dan berjuang untuk mencegah dan memberantas segala tindak korupsi. Sikap dan perbuatan anti korupsi sangat penting untuk terus digelorakan di Indonesia. Sebab saat ini, tindak pidana korupsi di Indonesia dipandang telah sangat meresahkan masyarakat.
Setelah bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi sejak beberapa tahun yang lalu, korupsi sungguh membuat rakyat lebih sengsara. Bukannya uang negara tersebut digunakan untuk menolong rakyat yang sedang terhimpit kesusahan, malah digunakan oleh koruptor untuk berfoya-foya memperkaya diri dan keluarganya.
Itulah sebabnya, beberapa tahun terakhir ini semakin gencar dilakukan gerakan antikorupsi oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Gerakan antikorupsi bisa diwujudkan dalam bentuk peraturan (instrumen hukum), kelembagaan, maupun aksi nyata masyarakat dan pemerintah dalam menegakkan hukum dan keadilan, terutama bagi kasus-kasus korupsi.
2.       Instrumen Hukum Antikorupsi
Guna mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan. Berikut beberapa peraturan perundang-undangan tesebut.
a.       UU RI No. 28 Tahun 1999  tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
b.      UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi.
c.       UU RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

3.       Kelembagaan Antikorupsi

Instrumen hukum tentang korupsi, bila dalam pelaksanaannya tidak ada lembaga yang berhak dan berwenang menegakkan instrumen hukum tersebut.

Lembaga-lembaga antikorupsi ada yang dibentuk oleh negara berdasrkan undang-undang dan ada pula yang dibentuk oleh masyarakat. Contoh lembaga antikorupsi yang dibentuk oleh negara yaitu :
a.       Komisi Pemberantasan Korupsi
Negara berdasarkan undang-undang membentuk suatu lembaga antikorupsi yang dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketentuan tentang KPK diatur dalam UU RI No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b.      ICW dan Gerak
Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Gerakan Antikorupsi (Gerak) merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terus-menerus ambil bagian dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Partisipasi kedua LSM ini antara lain dengan cara memberikan pengawasan serta informasi dan atau pengaduan terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga negara yang lain.
Dengan adanya instrumen hukum dan lembaga-lembaga antikorupsi diharapkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bisa berjalan dengan baik. Akan tetapi, dukungan dan partisipasi masyarakat secara penuh guna benar-benar membebaskan dan membersihkan bumi Indonesia dari korupsi tetap terus diperlukan. Sebab, tanpa adanya dukungan semua pihak, upaya pemberantasan korupsi akan merupakan isapan jempol belaka.

Dibuat oleh : Fachrizal Giofani, Kelompok 3 dan Andarisa Rachmadian Akbar, Kelompok 1
Diposting oleh : I Made Wikananda Supartha, Kelompok 4

0 comments: